Ketahanan Pangan, Pertarungan Energi dengan Pangan

Sumber Kompas

Hermas E Prabowo

Tahun 2006 dan 2007 sungguh memberikan hikmah luar biasa bagi bangsa ini. Hantaman perubahan iklim mengakibatkan produksi beras jeblok, kekeringan berkepanjangan, musim panen mundur, dan harga beras tak terkendali.

Pemerintah sempat gentar. Demi menekan harga beras, yang sangat mungkin mengimbas ke persoalan politik dan merongrong kekuasaan, pemerintah mengambil langkah yang tidak populer. Dalam waktu kurang dari enam bulan, pemerintah membuka impor beras 1,5 juta ton.

Produksi beras dipaksa naik dua juta ton meski 22,4 persen irigasi untuk mengairi 1,52 juta hektar sawah rusak. Bantuan benih padi senilai Rp 600 miliar digelontorkan. Sebagian kecil irigasi yang bocor ditambal. Harga pembelian gabah dan beras dinaikkan agar petani makin bergairah menanam padi. Impor beras dialirkan sepanjang waktu. Targetnya stok akhir beras nasional 2007 sebanyak 1,5 juta-2 juta ton.

Untuk sementara waktu, setidaknya tahun ini, ketahanan pangan nasional, khususnya beras, diperkirakan aman. Posisi stok beras di tangan Perum Bulog sekarang 1,6 juta ton, padahal beras impor baru tiba 1,1 juta ton atau masih tersisa 400.000 ton.

Membuka mata
Kegagalan penyediaan pangan di penghujung tahun 2006 dan awal 2007 membuka mata bangsa ini untuk menggenjot produksi komoditas pertanian, khususnya pangan, berlipat ganda. Sayangnya, niat itu baru pada tataran ideal, belum pada langkah konkret.

Lihat saja produksi beras nasional. Meski optimisme terus terpancar dari departemen teknis, harapan produksi beras meningkat di atas 5 persen masih perlu kerja keras. Apalagi subsidi benih unggul bermutu yang diharapkan bisa meningkatkan produktivitas 1 ton-2 ton per hektar gabah kering giling (GKG) baru terealisasi 30 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam angka ramalan II memperkirakan produksi GKG nasional hanya 53,1 juta ton atau kurang 3 juta dari target.

Bagaimana dengan produksi jagung dan kedelai? Produksi jagung nasional berdasar aram II BPS juga lebih rendah atau sebanyak 12,44 juta ton dari target 13,54 juta ton. Dibandingkan dengan produksi lima tahun lalu (2003), memang naik 1,56 juta ton. Namun, kenaikan itu karena ada harapan luas panen juga naik 73.000 hektar.

Dari luas area panen, nyaris tak ada perubahan. Luas panen jagung tahun 2003 sekitar 3,358 juta hektar dan tahun 2006 menyempit menjadi 3,345 juta hektar. Dari sisi produktivitas hanya ada sedikit kenaikan, dari 3,24 ton per ha menjadi 3,47 ton atau naik 0,46 persen.

Produksi kedelai juga mengkhawatirkan. Aram II BPS menghitung produksi kedelai nasional hanya 664.438 ton atau lebih rendah 83.073 ton, sedangkan target 2007 sebanyak 950.000 ton atau kurang 285.562 ton. Produksi kedelai dari tahun ke tahun juga tidak semakin bagus, sebaliknya terus melorot.

Melihat produksi beras, jagung, dan kedelai yang cenderung melandai (leveling off) membuat bangsa ini cemas. Apalagi Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan (OECD) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) memprediksi bahwa dalam rentang satu dasawarsa ke depan (2007-2016) bakal terjadi perubahan struktur dasar perdagangan komoditas pertanian secara permanen.

Perubahan struktur ini akan mengimbas pada pergeseran pola konsumsi produk pertanian dunia. Dan, yang dampaknya paling mengena bangsa ini adalah pergeseran pola konsumsi beras, jagung, kedelai, dan gandum. Hal ini karena bangsa Indonesia masih bergantung pada impor.

Perubahan pola konsumsi produk serealia akibat terus meningkatnya permintaan kebutuhan bahan bakar alternatif dalam bentuk etanol dan biodiesel, mau tidak mau berpengaruh baik terhadap produksi maupun harga komoditas pertanian, seperti beras, jagung, gandum, dan kedelai.

Produksi etanol China tahun 2016 diasumsikan sebanyak 3,8 miliar liter, naik 1,5 miliar liter dari tahun 2006. Dengan begitu, kebutuhan jagung untuk etanol naik dari 3,5 juta ton (2006) menjadi 9 juta ton (2016). Brasil memproyeksikan produksi etanol 44 miliar liter (2016) atau naik 145 persen lebih dari tahun 2006.

Etanol Brasil berbasis tebu sehingga kebutuhan tebu juga naik di atas 500 juta ton (2016) dari yang semula kurang dari 200 juta ton (2006). Adapun Amerika Serikat menaikkan kebutuhan jagung hingga 110 juta ton dari 55 juta ton tahun 2006.

Kebutuhan jagung Uni Eropa juga naik menjadi 5 juta ton tahun 2016 dari sekitar 1 juta ton (2006). Konsumsi gandum juga naik dari sekitar 1,5 juta ton (2006) menjadi 17 juta ton (2016). Eropa juga memperkirakan produksi etanol 2016 sebanyak 15 miliar liter.

Tingginya kebutuhan jagung, gandum, minyak nabati, tebu, dan kedelai menyebabkan berlakunya hukum ekonomi bagi petani. Komoditas yang paling banyak memberikan keuntungan akan diserbu, akibatnya komoditas lain kurang diminati.

Tantangan
Tantangan utama bangsa ini adalah bagaimana meningkatkan produksi berbagai komoditas di atas secara signifikan. Bertahan pada posisi produksi sekarang itu artinya siap-siap saja menjadi penonton dalam perdagangan dunia. Bukan cuma itu, harga komoditas lokal bakal terdongkrak naik. Jika konsumen tidak siap, bisa menimbulkan gejolak sosial dan politik.

Untuk mengantisipasi kondisi di atas, bangsa ini perlu menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah. Konversi lahan sawah saja per lima tahun sekali diperkirakan oleh BPS dan Badan Pertanahan Nasional sekitar 106.000 ha. Laju alih fungsi lahan terus terjadi, sedangkan pemerintah tak berdaya.

Perluasan lahan pertanian hanya menjadi mimpi semata. Penggunaan lahan telantar seluas 9,7 juta hektar untuk lahan sawah sulit dilakukan. Pemerintah tak sanggup bila harus terus memperluas area pertanian karena mahalnya pembukaan lahan baru.

Pengembangan teknologi pertanian juga mengecewakan. Sejak lima tahun lalu, produktivitas beras, jagung, kedelai, dan tebu bisa dibilang stagnan. Kalaupun ada peningkatan amat kecil.

Bandingkan dengan AS. Tahun 1955, produksi jagung AS hanya 73 juta ton, tetapi 50 tahun kemudian (2005) naik 390 persen menjadi 282 juta ton. Luas area panen naik dari 27 juta hektar menjadi 30,1 juta ha. Iowa adalah satu contoh sukses produksi jagung AS.

Pertanyaannya kemudian, kapan produksi komoditas tanaman pangan kita akan berlipat? Padahal, kebutuhan terus naik. Tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia berdasar data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebanyak 243 juta jiwa. Dengan konsumsi beras per kapita per tahun 139 kilogram, dibutuhkan beras 33,78 juta ton. Tahun 2006, konsumsi beras per tahun sekitar 30,03 juta ton.

Kebutuhan jagung untuk pakan ternak tahun 2010 menjadi 5,2 juta ton dari tahun 2006 yang hanya 3,5 juta ton. Kebutuhan kedelai juga naik. Melonjaknya permintaan beras, jagung, kedelai, dan gula mengakibatkan akan terjadi pertarungan dalam perebutan lahan bagi pakan, pangan, serta energi.

Bukan tidak mustahil, seiring pertumbuhan industri perunggasan dunia, harga jagung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beras. Hal ini akhirnya memaksa petani menanam jagung berkualitas bagus dengan produktivitas tinggi. Jika produksi jagung di Indonesia, tak usah jauh-jauh, 10 ton saja per hektar, hal itu sudah bisa dijadikan alasan bagi petani untuk menanam jagung daripada beras.

Saat ini dunia tengah berpacu dengan waktu untuk meningkatkan produksi beras, jagung, gandum, gula, dan kedelai. Akan tetapi, bangsa ini masih berwacana, belum melakukan langkah konkret untuk menghadapi perubahan struktur perdagangan komoditas pertanian global.

Apabila kondisi ini berlanjut sampai sepuluh tahun ke depan, bukan tidak mungkin kualitas hidup bangsa ini makin merosot. Jangankan bicara soal pendidikan dan kesehatan, untuk makan saja tak mampu beli karena harga selangit, sementara pendapatan tetap.

Leave a comment